Oleh:
Syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin
Salman
Dari Ibnu 'Umar -Radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda:
"Artinya : Janganlah
kalian shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan
seorangpun lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamubunuh dia, karena
sesungguhnya ada syetan yang bersamanya."[1]
Dari Abu Sa'id al-Khudri
-Radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam-
bersabda:
"Artinya : Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah
menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau
membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan sutrah. Jika ada seseorang
melewatinya, hendaklah engkau membunuhnya, karena sesungguhnya dia itu
syetan."[2]
Dalam satu riwayat: "Maka sesungguhnya syetan melewati antara
dia dengan sutrah." Dari Sahl bin Abu Hitsmah -Radhiyallahu 'anhu-: Dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:
"Artinya : Jika salah
seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya, sehingga
syetan tidak memutus atas shalatnya."[3]
Dalam satu
riwayat:
"Artinya : Jika salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah
dia memakai sutrah dan mendekatinya, karena sesungguhnya syetan akan lewat di
hadapannya."[4]
Asy-Syaukani berkata sebagai komentar atas hadits Abu
Sa'id yang lalu: "Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah
dalam shalat adalah wajib."[5]
Dia (asy-Syaukani) berkata: "Kebanyakan
hadits yang mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu
menunjukkan wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah wajib ini
kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan
sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam-:
"Artinya : Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya
tidak membahayakannya." Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi sesuatu
yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang bisa menghilangkan
sebagian pahalanya."[6]
Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat
sutrah:
"Artinya : Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar'i, yang
dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita
yang baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam hadits
yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya serta hukum-hukum
selain yang berkaitan dengan sutrah.[7]
Oleh karena itu, salafus shalih
-semoga Allah meridhai mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat.
Sehingga datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka
sangat gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta
mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah, sebagaimana
yang akan engkau lihat.
Dari Qurrah bin 'Iyas, dia berkata: "'Umar telah
melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi
tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: "Shalatlah
engkau dengan menghadap kepadanya.""[8]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
"Dengan itu 'Umar menginginkan agar dia shalat menghadap ke
sutrah."[9]
Dari Ibnu 'Umar, dia berkata: "Jika salah seorang dari kalian
shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan mendekatinya, supaya syetan
tidak lewat di depannya."[10]
Ibnu Mas'ud berkata: "Empat perkara dari
perkara yang sia-sia: "Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah... atau dia
mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan
jawaban."[11]
Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah
memberikan petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintah-perintah itu datang
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya berarti mentaati
Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-nya, melainkan dari wahyu
yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya memerintahkan dengan sesuatu yang
beliau perintahkan, sehingga 'Umar -Radhiyallahu 'anhu- khalifah yang lurus,
dialah yang mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan shalat, maka dia
('Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya ke sutrah,
sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah, bagaimana Ibnu Mas'ud
menyamakan antara shalatnya seseorang yang tidak menghadap ke sutrah dengan
orang yang tidak memberikan jawaban ketika mendengar adzan."[12]
Dari
Anas, dia berkata: "Sesungguhnya saya melihat sahabat-sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam- bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang di saat shalat Maghrib,
sampai Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- keluar."[13]
Dalam satu
riwayat: "Dalam keadaan seperti itu, mereka shalat dua rakaat sebelum
Maghrib."[14]
Anas menceritakan keadaan para sahabat dalam waktu yang
sempit itu, bagaimana mereka bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang untuk
melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.
Dari Nafi', dia berkata:
"Bahwasanya Ibnu 'Umar jika tidak mendapati jalan menuju ke salah satu tiang
dari tiang-tiang masjid, dia berkata kepadaku: "Palingkan punggungmu
untukku."[15]
Dan dari dia (Nafi') juga, dia berkata: "Bahwa Ibnu 'Umar
tidak shalat, kecuali menghadap ke sutrah."[16]
Salamah bin al-Akwa`
menegakkan batu-batu di tanah, ketika dia hendak shalat, dia menghadap
kepadanya.[17]
Dalam atsar ini: Tidak ada bedanya antara di tanah lapang
maupun di dalam bangunan. Dhahir hadits-hadits yang lalu serta perbuatan Nabi
menguatkan yang demikian itu, sebagaimana yang telah ditetapkan asy-Syaukani
atas hal tersebut.[18]
Al-Allamah as-Safarini berkata: "Ketahuilah,
sesungguhnya orang yang shalat disunnahkan membuat sutrah berdasarkan
kesepakatan para ulama. Meskipun dia tidak khawatir adanya orang yang
melewatinya. Ini menyelisihi al-Malik. Dalam al-Waadhih: wajib dari tembok atau
sesuatu yang dapat jadi penghalang (sutrah) tersebut dan luasnya sutrah itu
mengherankan al-Imam Ahmad.[19]Pemutlakan tersebut sangat tepat, karena
penjelasan alasannya hanya bersandar dengan ra'yu (pikiran) semata, tidak ada
dalil padanya dan di dalamnya terdapat pengguguran hanya dengan ra'yu terhadap
nash-nash yang mewajibkan untuk membuat sutrah sebagiannya telah disebutkan
sebelumnya. Dan ini tidak dibolehkan, khususnya jika yang lewat itu dari jenis
yang tidak bisa dilihat oleh manusia yaitu syetan. Sesungguhnya telah datang
kabar yang terang dari perkataan dan perbuatan (Nabi) -Shallallahu 'alaihi wa
sallam-."[20]
Ibnu Khuzaimah, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits
yang memerintahkan membuat sutrah, dia berkata:
"Kabar-kabar ini semua
shahih, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam- telah memerintahkan
kepada orang yang shalat agar membuat sutrah di dalam shalatnya."
Abdul
Karim menduga, setelah mendapatkan kabar dari Mujahid dari Ibnu
'Abbas:
"Sesungguhnya Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- pernah shalat
tidak menghadap ke sutrah, ketika beliau berada di tanah lapang,[21] karena
Arafat di jaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tidak ada bangunan yang
tegak yang dengannya beliau bisa membuat sutrah dalam shalatnya!! Padahal
sesungguhnya beliau telah melarang seseorang melakukan shalat, kecuali menghadap
ke sutrah. Maka bagaimana beliau melakukan sesuatu yang beliau sendiri
melarangnya?!"[22]
Saya (penulis) berkata: Tidak adanya bangunan tidaklah
menghalangi dari membuat sutrah. Karena telah ada penjelasan yang demikian itu
dalam hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma-
Dari Ibnu 'Abbas, dia
berkata: "Dia telah shalat bersama manusia di Mina menghadap ke selain
tembok."[23]
Dan terdapat riwayat yang shahih dari jalan lain,
sesungguhnya dia berkata: "Saya menancapkan tombak kecil di hadapan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam ketika di Arafat dan beliau shalat ke arahnya dan
keledai ada di belakang tombak kecil itu."[24]
Ibnu at-Tirkamani berkata:
"Saya katakan bahwa: "Tidak adanya dinding tidak mengharuskan meniadakan sutrah.
Sementara saya tidak tahu apa sisi pendalilan dari riwayat Malik tersebut yang
menunjukkan, bahwa beliau shalat tidak menghadap ke sutrah."[25]
Setelah
beberapa uraian di atas, maka kami (penulis) berkata: Nyatalah bagi kami dengan
jelas, bahwa:
[1]. Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di
hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya
manusia, atau dia berada di tanah lapang
Tidak ada bedanya antara di kota
Makkah ataupun di tempat lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara
mutlak.[26]
[2]. Sebagian ulama menyunnahkan orang yang shalat untuk
meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan
dengan tepat ke arah kiblat[27]
Yang demikian ini tidak ada dalilnya yang
shahih, namun kesemuanya itu boleh.[28]
[3]. Ukuran sutrah yang mencukupi
bagi orang yang shalat, sehingga dia bisa menolak bahayanya orang yang lewat,
adalah setinggi pelana
Sedangkan orang yang mencukupkan sutrah yang
kurang dari ukuran itu dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan.
Dan
dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Artinya : Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan
tiang setinggi pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia
memperdulikan orang yang ada di belakangnya."[29]
Dari 'A`isyah
-Radhiyallahu 'anha-, dia berkata: "Pada waktu perang Tabuk Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam- ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka
beliau menjawab: "Tiang setinggi pelana.""[30]
Dan dari Abu Dzar, dia
berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Artinya :
Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia
telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana. Jika tidak ada
tiang setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai
atau perempuan atau anjing hitam."[31]
Para ulama berpendapat, bahwa
mengakhirkan penjelasan di waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh. Dan
sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- hanya ditanya tentang sutrah
yang mencukupi, maka seandainya kurang dari (ukuran) itu mencukupi, tentu tidak
boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan.[32]
Ukuran panjang
pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`,
Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'.[33] Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku
sampai ke ujung jari tengah.[34] Dan ukurannya kurang lebih: 46,2
cm.[35]
Telah tetap, bahwa Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- shalat
menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah
benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang dimaksud
menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan
lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan
sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh.
Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, bahwa
beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap
kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya
pelana."[36]
Dia berkata juga: "Perintah Nabi -Shallallahu 'alaihi wa
sallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam shalat, maka hal
itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -Shallallahu 'alaihi wa sallam-
menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama
seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara
keseluruhan."[37]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh
membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya,
meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia
harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan
oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.
Dan yang sangat pantas
disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if.
Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya.
Ad-Daruquthni berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam
Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya,
kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu
diikuti."
Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan
hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu
Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]
Setelah ini maka
dikatakan:
[4] Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat
sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya
imam
Janganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang shalat
(dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat yang ada di
depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada pada shaf yang pertama, sehingga dengan
demikian mengharuskan melakukan pencegahan terhadap orang yang lewat di
hadapannya. Sedangkan dalil yang ada menyelisihi hal tersebut,
yaitu:
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail datang dengan
mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berada
di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami turun dan kami
tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu 'alaihi wasallam-
tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."[39]
Dalam satu riwayat:
"Sesungguhnya keledai betina itu melewati di depan sebagian shaf yang
pertama."[40]
Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat
di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan
keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang
mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam-.
Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui yang demikian itu!!"
Maka
dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- tidak melihat
kepada keduanya dari sampingnya, maka beliau melihat keduanya dari belakangnya.
Sesungguhnya beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
"Artinya :
Apakah kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan ruku' kalian
tidak ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya melihat kalian dari
belakang punggungku."[41]
Ibnu Abdil Bar berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini
memberi kekhususan kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari kalian
shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di depannya," yang
demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun untuk
makmum, orang yang lewat di depannya tidak membahayakannya, berdasarkan hadits
Ibnu 'Abbas ini."
Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) berkata: "Tidak ada
perselisihan di antara para ulama terhadap perkara ini."[42]
Dari sini
bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat berjama'ah adalah seseorang shalat dengan
beberapa orang, bukannya shalat dengan jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu shalat jama'ah tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat
berjama'ah itu pengertiannya beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di
dalamnya butuh sutrah."[43]
[5]. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah,
maka sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya
dari dia
Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah untuk
dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[44]
[6].
Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang tertinggal
bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia
lakukan?
Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya
setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat
dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di
belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai
pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di
tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."[45]
Ibnu Rusyd
berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus,
jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah
baginya untuk raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia
shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya
semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun
orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka
tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka.
Hanya pada Allahlah taufik tersebut."[46]
Inilah yang dikatakan oleh
al-Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusydi, yang tidak pantas untuk diselisihi.
Sebab, seorang makmum masbuk yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan
dan pada saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang
menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan
dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan
perintah menegakkan sutrah.
Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan
membuat sutrah, agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia
wajib membuat sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia
berusaha menolak orang yang melewati depannya."[47]
[Disalin dari buku
Al-Qawl Al-Mubin Fii Akhthaa Al-Mushalliin, Edisi Indoensia atas Kekeliruan
Praktek Ibadah Shalat, Oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman,
Penerbit Maktabah Salafy Press , hlm. 75-88. Cetakan pertama, Dzulqa'idah 1423
H]
_________
Foote Note
[1]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam
ash-Shahih.
[2]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam
al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam
as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan),
al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.
[3]. Telah
dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279), Ahmad di dalam
al-Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-Musnad no. (379), al-Humaidi di
dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (695), an-Nasa`i di
dalam al-Mujtaba (2/ 62), Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no. (803), Ibnu
Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam Syarhul-Ma'ani al-Atsar
(1/ 458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/ 119), al-Hakim di dalam
al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul Kubra (2/272) dan hadits
tersebut shahih.
[4]. Ini lafadz Ibnu Khuzaimah.
[5]. Nailul Authar (3/ 2).
[6]. As-Sailul Jarraar (1/ 176).
[7]. Tamamul Minnah (hlm.
300).
[8]..Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1/ 577-dengan
al-Fath) secara ta'liq dengan Shighah Jazm dan di-washalkannya oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf (2/ 370).
[9]. Fathul Baari (1/ 577)
[10]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279) dengan sanad yang shahih.
[11]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (2/ 61), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (2/ 285) dan dia shahih.
[12]. Ahkamus Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 13-14), Penerbit Daar Ibnul Qayyim Dammam.
[13]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (503).
[14]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (625).
[15]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 279), dengan sanad shahih.
[16]. Telah dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (2/ 9) dan dalamsanadnya ada kelemahan dan didukung oleh sebelumnya.
[17]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf (1/ 278).
[18]. Nailul Authar (3/ 6).
[19]. Syarah
Tsulatsiyaat al-Musnad (2/ 786).
[20]. Tamamul Minnah (hlm. 304).
[21]. Riwayat haditsnya dha'if (lemah), sebagaimana telah diperingatkan atasnya oleh al-Albani -rahimahullah- di dalam Tamamul Minnah (hlm. 305) dan beliau berkata:
"Riwayat itu telah dikeluarkan dalam kitabku: al-Ahadits adh-Dha'ifah, no.
(5814) bersama hadits-hadits yang lain dengan maknanya."
[22]. Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 27-28).
[23]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam ash-Shahih no. (76)(493)(861) (1857)(4412), Ahmad dalam al-Musnad (1/ 342), Malik dalam al-Muwaththa' (1/131) dan selain mereka.
[24]. Telah dikeluarkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad (1/ 243), Ibnu Khuzaimah dalam ash-Shahih (840), ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir (11/ 243) dan sanadnya Ahmad hasan.
[25]. Al-Jauharun-Naqi (2/ 273). Dan lihat bantahan yang lain dalam: Ahkamu as-Sutrah (hlm. 88 dan setelahnya).
[26]. Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah tidak ada sutrah, bahwasanya dibolehkan -di sana-
berjalan melewati di hadapan orang-orang yang sedang shalat dan bantahan akan
pernyataan ini terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal-Maudhu'ah,
no. (928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 46-48)(120-126)
dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat dengan keadaan
darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai alternatif, khususnya ketika
berada di dalam keadaan yang sangat berdesak-desakan. Telah berkata tentangnya
al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath (1/ 576) dan az-Zarqani dalam Syarahnya atas
Mukhtashar Khalil (1/ 209).Wallahu A'lam.
[27]. Lihat, misalnya di dalam: Zaadul Ma'aad (1/ 305).
[28]. Ahkam as-Sutrah (hlm. 450).
[29]. Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (499).
[30]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (500).
[31]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (510).
[32]. Ahkam as-Sutrah (hlm 29).
[33] Lihat: Mushannaf Abdurrazzaq (2/ 9, 14, 15), Shahih Ibnu Khuzaimah no.(807), Sunan Abu Dawud no. (686).
[34]. Lisanul 'Arab (3/ 1495).
[35]. Mu'jam Lughatul Fuqahaa' (hlm. 450-451).
[36]. Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 12).
[37]. Rujukan yang lalu.
[38]. Lihat: Tamamul Minnah (hlm. 300-302), Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).
[39]. Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (504).
[40]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (1857).
[41]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (418), (471) dan pembicaraan yang lalu dari Ahkam as-Sutrah (hlm. 22).
[42]. Fathul Baari (1/ 572).
[43]. Faidhul Qadir (2/ 77).
[44]. Lihat: Ahkam as-Sutrah (hlm. 21-22).
[45]. Syarah az-Zarqaani 'ala Mukhtashar Khalil (1/ 208).
[46]. Fatawa Ibnu Rusyd (2/ 904).
[47]. Ahkam as-Sutrah (hlm. 26-27).
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1265&bagian=0
1 comments:
September 10, 2021 at 5:00 PM
bezatish furniture kunjungi website kami penjual mable jati asli Jepara. https://www.bezatishfurniture.id - www.bezatishfurniture.id - bezatishfurniture.id - Bezatish Furniture
Post a Comment